Primary Open Angle Glaucoma

 

PENDAHULUAN

Glaukoma merupakan neuropati optik degeneratif kronis yang dapat dibedakan dari bentuk neuropati optik didapat lainnya dari gambaran nervus optikus. Pada glaukoma, neuroretinal rim dari nervus optikus menipis secara progresif, mengakibatkan pembesaran cup nervus optikus. Fenomena ini disebut sebagai optic-nerve cupping. Penyebabnya adalah hilangnya sel axon ganglion retina, bersama sama dengan glia pendukung dan vaskularisasinya. Neuroretinal rim yang tersisa mempertahankan warna merah muda yang normal. Pada neuropati optik lainnya, jaringan nervus optikus kehilangan warna normalnya dan tidak terbentuk cupping. Terkecuali pada kondisi yang jarang yaitu arteritic anterior ischemic optic neuropathy, dimana cupping dapat muncul. Pasien dengan glaukoma seringkali kehilangan penglihatan perifer dan jika tidak ditangani akan kehilangan seluruh penglihatannya. Meskipun glaukoma seringkali mucul tanpa peningkatan tekanan intra okular (TIO), penyakit ini bagaimanapun juga diklasifikasikan berdasarkan variasi segmen anterior yang dapat meningkatkan TIO. Segmen anterior dari mata mempunyai sistem sirkulasinya sendiri yang memberikan nutrisi pada lensa dan kornea. Aqueous humor, yang dihasilkan oleh korpus siliaris, bersirkulasi melalui ruangan anterior dan mengalir ke trabecular meshwork pada sudut iridocorneal, dimana sudut terbentuk oleh iris dan kornea. Peningkatan TIO bukan diakibatkan meningkatnya produksi humor aqueous namun dikarenakan menurunnya penyerapan humor aqueous. Glaukoma diklasifikasikan berdasarkan gambaran dari sudut iridocorneal, yaitu sudut terbuka, sudut tertutup, dan kategori pengembangan yang lebih jauh dikategorikan menjadi tipe primer dan sekunder. Primary open-angle glaucoma (POAG) dapat muncul dengan atau tanpa peningkatan TIO (normal-tension glaucoma). POAG termasuk adult-onset disease (muncul setelah 40 tahun) dan juvenile-onset disease (muncul usia 3 sampai 40 tahun). Contoh dari glaukoma sudut terbuka sekunder yaitu yang berhubungan dengan exfoliation atau pigment-dispersion syndrome. Glaukoma sudut tertutup dapat bersifat primer (contohnya pupillary block) atau sekunder (contohnya penyebab inflamasi atau neovaskular). Bentuk developmental dari glaukoma termasuk glaukoma kongenital primer dan glaukoma yang berhubungan dengan sindrom (contohnya aniridia atau the Axenfeld–Rieger syndrome). Primary open-angle glaucoma (POAG) merupakan bentuk utama dari glaukoma pada negara-negara Barat. Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai POAG, yang mempunyai sudut iridocorneal terbuka dan gambaran yang normal tetapi penyerapan humor aqueous yang menurun.[1]

 

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Primary open-angle glaucoma (POAG) merupakan neuropati optik kronik dan progresif pada usia dewasa dimana tekanan intra okular (TIO) berkontribusi pada kerusakan dan dimana tidak teridentifikasi faktor lainnya, dengan karakteristik atropi nervus optikus, dan hilangnya sel dan axon ganglion retinal, dan memiliki dengan sudut iridocorneal yang terbuka.[6]

2.2 Epidemiologi

POAG merupakan masalah kesehatan publik yang cukup signifikan. Di Amerika Serikat prevalensi POAG untuk pasien usia lebih dari 40 tahun adalah 1.86%. POAG diperkirakan terdapat pada 2,2 juta orang di Amerika Serikat yang akan meningkat menjadi 3,3 juta pada tahun 2020. Berdasarkan the Baltimore Eye Survey, sekitar setengah pasien dengan glaukoma tidak menyadari bahwa mereka memiliki penyakit tersebut. Di Amerika Serikat kunjungan rumah sakit untuk monitoring pasien glaukoma dan pasien dengan resiko tinggi glaukoma berkisar 7 juta orang dan glaukoma merupakan salah satu penyebab utama kebutaan yang dapat dicegah di Amerika Serikat.[6]

2.3 Faktor Resiko

Terdapat 5 faktor resiko yang berhubungan dengan neuropati optik glaukomatous yaitu peningkatan pengukuran TIO, usia dewasa, riwayat keluarga dengan gaukoma, African atau Hispanic/Latino descent dan tipisnya ketebalan kornea sentral. Faktor resiko lainnya yang mungkin berhubungan yaitu rendahnya diastolic perfusion pressures, diabetes, myopia, dan hipertensi. [6]

Sejumlah faktor yang dapat berhubungan dengan timbulnya glaukoma sudut terbuka primer adalah tekanan bola mata. Hal ini disebabkan karena tekanan bola mata merupakan salah satu faktor yang paling mudah dan paling penting untuk meramalkan timbulnya glaukoma di masa mendatang. Secara umum dinyatakan bahwa tekanan bola mata yang lebih tinggi akan lebih memungkinkan terhadap peningkatan progresifitas kerusakan diskus optikus, walaupun terdapat hubungan antara tingginya tekanan bola mata dan besarnya kerusakan, sampai saat ini masih diperdebatkan. Beberapa kasus menunjukkan, bahwa adanya tekanan bola mata yang berada di atas normal akan diikuti dengan kerusakan diskus optikus dan gangguan lapang pandangan dalam beberapa tahun. Sebaliknya, terjadi juga pada banyak kasus, bahwa selama pemeriksaan tekanan bola mata tidak pernah di atas normal, namun terjadi kerusakan pada papil dan lapang pandangan yang khas glaukoma. Oleh karena itu, definisi tekanan bola mata yang normal sangat sukar untuk ditentukan dengan pasti. Jika dalam suatu populasi dinyatakan rerata tekanan bola mata 16 mmHg dengan standard deviation 3 mmHg, maka nilai tekanan bola mata  yang normal berada di antara 10–22 mmHg. Jika dilakukan pemeriksaan tekanan bola mata pada populasi umur di atas 40 tahun, maka diperkirakan tekanan bola mata yang di atas 22 mmHg adalah 5%-10%. Masalah lain yang harus dipertimbangkan mengenai tekanan bola mata, adalah adanya pengaruh variasi diurnal dari tekanan bola mata itu sendiri, yaitu bahwa tekanan bola mata sangat fluktuatif, tergantung pada waktu saat pemeriksaan, yaitu pagi, siang, sore atau malam hari. Beberapa peneliti menyatakan bahwa, variasi diurnal yang lebih besar dari normal dapat digunakan sebagai pembeda untuk menentukan bentuk glaukoma-nya. Di samping itu, terdapat pula pengaruh makanan dan konsumsi cairan. Disebutkan bahwa, variasi diurnal pada orang normal berkisar antara 3.5-5 mmHg. Keadaan ini menjadi lebih nyata pada glaukoma  sudut terbuka primer yang tidak diobati. Variasi tekanan bola mata yang luas ini sangat mempengaruhi kondisi untuk mendiagnosis secara dini dengan cepat, hal ini ditunjukkan dalam suatu survei populasi yang menyebutkan bahwa 50% penderita terdiagnosis glaukoma sudut terbuka primer tidak menunjukkan adanya kenaikan tekanan bola mata pada saat pemeriksaan pendahuluan, di samping itu juga ditemukan adanya kenaikan tekanan bola mata tanpa gangguan diskus optikus dan lapang pandangan (hipertensi okuler).[10] Data penelitian juga memperlihatkan bahwa 10% dari hipertensi okular dengan TIO 24 mmHg atau lebih yang tidak tertangani akan menderita glaukoma dalam 5 tahun. Berkebalikan dengan hal ini, berkisar 3.6% sampai 61% pasien dengan glaucomatous disc dan perubahan lapangan pandang terlihat hanya memiliki TIO 21 mmHg atau rendah.[6]

Secara umum dinyatakan bahwa hanya sekitar 0.5%-2% per tahun terjadi kerusakan papil dan lapang pandangan selama  pengamatan. Ironisnya, sebagian besar penderita glaukoma sudut terbuka primer hampir tidak pernah menyadari bahwa tekanan bola matanya mengalami peningkatan. Seringkali mereka baru menyadari setelah merasakan ada gangguan yang jelas terhadap tajam penglihatan, atau penyempitan lapang pandangan. Liesegang juga menyatakan bahwa kenaikan tekanan bola mata, merupakan salah satu faktor resiko utama terjadinya glaukoma.[10] Sementara hubungan antara TIO dengan kerusakan glaukomatous merupakan hal yang fundamental untuk terapi POAG, terdapat beberapa faktor lainnya (contohnya suplai darah untuk nervus optikus, substansi toxic pada nervus optikus atau retina, metabolisme axonal atau ganglion sel, dan matrik ekstraselular lamina cribosa) yang dapat memainkan peranan dalam progresifitas neuropati optik pada POAG. [6] Sementara itu, nilai batas normal tekanan bola mata dalam populasi berkisar antara 10–22 mmHg. Menurut  Sommer, pada populasi, nilai rerata tekanan bola mata yang normal adalah 16 mmHg dengan standard deviasi 3 mmHg.[10]

Faktor bertambahnya umur mempunyai peluang lebih besar untuk menderita glaukoma sudut terbuka primer. Vaughan (1995), menyatakan bahwa frekuensi pada umur sekitar 40 tahun adalah 0.4%–0.7% jumlah penduduk, sedangkan pada umur sekitar 70 tahun frekuensinya meningkat menjadi 2%–3% dari jumlah penduduk. Framingham Study dalam laporannya tahun 1994 me¬nyata¬kan bahwa populasi glaukoma adalah sekitar 0.7% penduduk yang berumur 52–64 tahun, dan meningkat menjadi 1.6% pendu¬duk yang berumur 65–74 tahun, serta 4.2% pada penduduk yang berusia 75–85 tahun. Keadaan tersebut didukung juga oleh per¬nyataan yang dikeluarkan oleh Ferndale Glaucoma Study di tahun yang sama.[6][10]

Glaukoma sudut terbuka primer merupakan suatu penyakit yang dipengaruhi faktor keluarga. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa survei yang dilakukan, Pada the Baltimore Eye Survey, resiko relatif POAG meningkat sekitar 3.7 kali pada seseorang yang memiliki kerabat dengan POAG. Pada the Rotterdam Eye Study, prevalensi POAG sekitar 10.4% pada pasien yang memiliki kerabat dengan POAG. Peneliti yang sama mengestimasikan bahwa resiko relatif untuk memiliki POAG sebesar 9,2 kali pada seseorang yang memiliki kerabat dekat dengan POAG. [6] [10]   

Wilensky yang didukung oleh beberapa penelitian menyatakan, bahwa faktor ras dan atau kulit berwarna mempunyai prevalensi glaukoma sudut terbuka primer yang lebih tinggi daripada orang kulit putih dan penderita yang berasal dari daerah oriental. Di Amerika Serikat perbandingan prevalensinya sekitar 2:1 untuk ras kulit berwarna. Sementara pada populasi lain tampak¬nya perbandingan tersebut lebih besar lagi. Hasil survei yang dilakukan di Kepulauan Karibia pada populasi umur di atas 40 tahun, dinyatakan bahwa prevalensi pada kulit berwarna sekitar 14%, sedang pada kulit putih hanya sekitar 2%. Diperkirakan juga bahwa beratnya kasus glaukoma pada kulit berwarna lebih  berbahaya daripada kulit putih. Sementara, kasus yang menjadi buta pada orang kulit berwarna insidensinya 8 kali lebih banyak daripada kulit putih. Di samping itu ditinjau dari hasil pengobatan maupun tindakan pembedahan, hasilnya lebih baik pada kulit putih daripada kulit berwarna.[10]

Peranan gene pada distribusi kelompok yang diamati masih belum jelas. Sampai faktor ini telah dimengerti, etnis dan ras dijadikan panduan untuk penilaian resiko POAG. Prevalensi POAG tinggi pada individu West African, Afro-Caribbean, atau Hispanic/Latino. Kebutaan yang dikarenakan glaukoma setidaknya enam kali lebih sering pada African Americans dibandingkan Caucasian Americans.[6]

Ketebalan korneal sentral secara klinis signifikan sebagai faktor yang mempengaruhi akurasi pengukuran TIO dengan tehnik aplanasi telah lama diketahui. Rata-rata ketebalan kornea mata sekitar 545 μm, pada sentral kornea yang tipis (contohnya 490 μm) tidak dapat menjelaskan adanya kehilangan lapangan pandang pada mata meskipun telah dilakukan pengukuran normal mata, karena pengukuran tersebut tidak memperlihatkan adanya TIO tinggi yang sebenarnya. Berkebalikan dengan hal itu, ketebalan kornea sentral yang tebal (contohnya 610 μm) dapat menjelaskan tingginya pengukuran TIO meskipun terdapat lapangan pandang dan optic disc yang normal dikarenakan TIO yang rendah. Meskipun beberapa tabel dan gambar telah dipublikasikan, tidak ada normogram standar untuk koreksi pengukuran TIO dengan menggunakan aplanasi pada ketebalan kornea sentral yang sepenuhnya divalidasi. Meskipun terdapat kemungkinan bahwa ketebalan kornea sentral yang tipis dapat merupakan faktor resiko untuk kerusakan nervus optikus glaukomatous, tidak terdapat bukti yang konklusif hal ini merupakan faktor resiko progresi kerusakan optic disc. [6]

Terlihat bahwa pasien yang memiliki diastolic perfusion pressures (tekanan darah diastolik dikurangi TIO) yang rendah merupakan resiko tinggi untuk POAG. Sebagai tambahan, sakit kepala migrain dan vasospasme perifer telah teridentifikasi sebagai faktor resiko untuk kerusakan nervus optikus pada beberapa penelitian. Hubungan antara POAG dengan penyakit kardiovaskular yang telah ada sebelumnya, hipertensi dan miopi tidak diperlihatkan secara konsisten. Sedangkan hubungan antara diabetes melitus dan POAG masih belum jelas. [6]

2.4 Patofisiologi

Problem yang sampai saat ini banyak menjadi bahan diskusi para pakar tentang glaukoma adalah patogenesis terjadinya glaukoma sudut terbuka primer yang masih belum diketahui secara jelas.[10] Resistensi utama pada aliran penyerapan humor aqueous berada pada endothelial lining dari kanalis schlemm dan pada adjacent portion dari trabecular meshwork dibandingkan oleh resistensi dari sistem venous. Terdapat beberapa kemungkinan yang dihubungkan dengan peningkatan TIO pada POAG yaitu mutasi gen dan kematian sel trabeculum meshwork. Mutasi gen yang diperkirakan dapat meningkatkan resistensi ini yaitu gen OPTN (encoding optineurin), WDR36 (encoding a T-cell activation WD repeat-containing protein) dan miocilin (MYOC), dan dipekirakan sekitar 4% dari kasus POAG adult-onset dan lebih dari 10% kasus juvenile-onset dikarenakan mutasi MYOC.[1][5] Beberapa kemajuan sudah mulai tampak, yaitu mulai muncul kesepakatan diantara mereka, bahwa berkurangnya atau hilangnya sel endotel trabecular meshwork akan disertai penebalan lamela daerah uvea dan korneoskeral. Penebalan tersebut akan menimbulkan penyempitan ruang antar-trabekulum yang berakhir dengan penutupan, sehingga terjadi hambatan outflow cairan akuos merupakan penyebab utama terjadinya hambatan outflow cairan akuos yang berakhir dengan kenaikan tekanan bola mata. Tetapi sampai saat ini, semua peneliti tidak atau belum dapat menjelaskan tentang bagaimana mekanisme terjadinya pengurangan atau hilangnya sel endotel trabecular meshwork tersebut.[10]

Vaughan menyatakan bahwa kondisi berkurang atau hilangnya sel endotel trabecular meshwork tersebut terjadi akibat degenerasi, tetapi bukan akibat degenerasi seperti pada proses penuaan (ageing process). Hogan dan Zimmerman mengatakan bahwa kondisi tersebut merupakan akibat pembengkakan dan sklerosis sel endotel trabecular meshwork. Sedangkan Cotran menerangkan bahwa penyebabnya belum diketahui dengan jelas. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dimunculkan dugaan kuat bahwa penyebab berkurangnya jumlah sel endotel trabecular meshwork, adalah akibat kematian sel itu sendiri oleh karena berbagai sebab. Menurut Lutjen-Drecoll, berkurangnya jumlah sel endotel trabecular meshwork, disertai dengan akumulasi matriks ekstra-seluler dan penebalan lamela daerah uvea dan korneo-sklera akan menimbulkan hambatan outflow cairan akuos pada glaukoma sudut terbuka primer.  Pada hakekatnya, kematian sel dapat terjadi karena rangsangan atau jejas letal yang berasal dari luar atau dari dalam sel itu sendiri (bersifat aktif atau pasif). Kematian sel yang berasal dari dalam sel dapat terjadi melalui mekanisme genetik, yang merupakan suatu proses fisiologis dalam usaha mempertahankan keadaan homeostasis atau keseimbangan fungsinya. Proses kematian  yang berasal dari luar sel dan bersifat pasif dapat terjadi karena jejas atau injury yang letal akibat faktor fisik, kimia, iskhemia maupun biologis. Jejas atau injury biologis dapat terjadi akibat pengaruh infeksi mata akibat mikro-organisme, secara  intra maupun ekstra seluler, baik akibat kuman, jamur, parasit ataupun virus, yang kesemuanya dapat merupakan antigen yang dapat menimbulkan inflamasi. Akhirnya  antigen  tersebut dapat mengaktivasi APC dan limfosit T. Limfosit T mengekspresikan molekul untuk mengikat antigen pada membrannya, yang disebut sebagai sel reseptor T. Reseptor  limfosit T ini hanya dapat mengenal antigen yang terikat pada protein sel membran, yang disebut sebagai  molekul  MHC (kelas I atau kelas II). Fungsi utama limfosit T adalah sebagai limfosit T helper (Th) dan limfosit T Cytotoxic (Tc). Antigen akan berpengaruh terhadap limfosit T helper, dan selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi limfosit Th1, limfosit Th2 dan limfosit Th3, tergantung pada macam antigen yang mempengaruhinya.  Limfosit Th1 akan  mengekspresikan beberapa sitokin. Menurut Abbas, sitokin  mempunyai peran terbesar sebagai pengatur mediator imun dalam proses inflamasi, yang dapat mengakibatkan lisis sel target, dan akhirnya mengalami kematian.  Wallach, Petrolani dan Pimentel menyebutkan, bahwa sitokin, memang berpengaruh terhadap kematian sel, namun sampai dengan saat ini, peran sitokin tersebut khususnya terhadap kematian sel endotel trabecular meshwork, belum pernah dijelaskan. Oleh karena itu, mekanisme kejadian berkurangnya atau hilangnya sel endotel trabecular meshwork belum dapat dijelaskan [10]

Terdapat beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan kerusakan nervus optikus yang dikarenakan peningkatan TIO, meskipun kerusakan nervus optikus juga dapat terjadi tanpa adanya peningkatan TIO. Kerusakan yang terjadi pada nervus optikus disebabkan oleh adanya peranan stress selular, perubahan struktural, kerusakan pada axon sel ganglion retinal dan kematian sel ganglion retinal. [1][5] Pada peningkatan TIO menyebabkan kerusakan langsung pada sel ganglion retinal, hal ini karena, pertama TIO yang meningkat menyebabkan menurunnya perfusi axonal transport yang akan menyebabkan akumulasi dan transport ROS pada retina dan akan menyebabkan malfungsi dan stress selular; kedua karena teraktivasinya sel glia (microglia dan astrosit) akan menyebabkan degradasi dan remodeling matrik ekstraselular yang akan menyebabkan pelepasan TNF-α yang mempunyai efek biomekanikal. [1][5]

Cupping dari nervus optikus dikarenakan dua hal, yaitu hilangnya jaringan prelaminar dan deformasi posterior dari lamina cribosa, hal ini mempunyai konsekuensi biomekanis yang menyebabkan stress pada axon sel ganglion sehingga fungsinya menjadi terganggu. [1][5] Dari penelitian didapatkan bahwa kerusakan glaukomatous berawal dari lamina cribosa, dimana kerusakannya karena mekanisme cell-mediated, mekanisme ini menyebabkan berlebihnya sintesis matrix material ekstra selular dan adanya peningkatan kadar kalsium intra-axonal karena berlebihnya paparan terhadap ephrin B2 (reseptor tyrosin kinase pada sel glioma). [1][5] Kematian sel ganglion retina pada glaukoma muncul dikarenakan proses apoptosis. Akhirnya apoptosis, penipisan dan posterior bowing dari lamina cribosa akan menambah besar dan dalamnya cup pada optic disk. [1][5]

2.5 Klasifikasi

Glaukoma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, mekanisme peningkatan TIO, dan berdasarkan perjalanan penyakit. Pada stadium perjalanan penyakit, adanya kejadian pemicu (stadium 1) menghasilkan obstruksi aliran aqueous (stadium 2) dan TIO abnormal (stadium 3), yang menyebabkan kematian sel ganglion retinal dan penggaungan dari nervus optikus (stadium 4) dan akhirnnya hilangnya penglihatan (stadium 5).[2]

A) Primary glaucoma

   1) Open angle glaucoma

      a) Primary open angle glaucoma (chronic open-angle glaucoma, chronic simple glaucoma)

      b) Normal-tension glaucoma (low tension glaucoma)

   2) Angle-closure glaucoma

     a) Acute

     b) Subacute

     c) Chronic

     d) Plateu iris

B) Congenital glaucoma

   1) Primary congenital glaucoma

   2) Glaucoma associated with other developmental ocular abnormalities

     a) Anterior chamber cleavage syndromes

     b) Aniridia

   3) Glaucoma associated with extraocular developmental abnormalities

     a) Sturge-weber syndrome

     b) Marfan’s syndrome

     c) Neurofibromatosis 1

     d) Lowe syndrome

     e) Congenital rubella

 

C) Secondary glaucoma

   1) Pigmentary glaucoma

   2) Exfoliation syndrome

   3) Due to lens changes (phacogenic)

      a) Dislocation

      b) Intumescence

      c) Phacolytic

   4) Due to uveal tract changes

      a) Uveitis

      b) Posterior synechiae

      c) Tumor

      d) Ciliary body swelling

   5) Iridocorneoendothelial (ICE) syndrome

   6) Trauma

      a) Hyfema

      b) Angle contusion

      c) Peripheral anterior synechiae

   7) Post operative

      a) Ciliary block glaucoma

      b) Peripferal anterior synechiae

      c) Epithelial downgrowth

      d) Following corneal graft surgery

      e) Folloeing retinal detachment surgery

   8) Neovascular glaucoma

      a) Diabetes mellitus

      b) Central retinal vein occlusion

      c) Intraocular tumor

   9) Raised episcleral venous pressure

      a) Carotid-cavernous fistula

      b) Sturge-weber syndrome

   10) Steroid induced

D) Absolute glaucoma

2.6 Manifestasi Klinik

2.6.1 Riwayat Penyakit

Anamnesa pasien merupakan hal yang penting pada saat evaluasi awal pasien dengan kecurigaan POAG atau penyakit okular lainnya yang dapat meningkatkan tekanan intra okular (TIO). Karena glaukoma merupakan penyakit yang tidak memberikan gejala kecuali pada perjalanan penyakit yang lama, maka biasanya pasien tidak akan memberikan gejala atau gangguan penglihatan, terutama pada POAG. Bagaimanapun juga, penyempitan atau penutupan dari sudut iridocorneal dapat menyebabkan penyumbatan trabecular meshwork, yang setara dengan peningkatan TIO, terutama jika TIO berada diatas 35 mm Hg. Pada anamnesa, perhatian harus difokuskan pada riwayat kesehatan mata (riwayat mata merah atau mata sakit, halo berwarna, sakit kepala, penyakit okular sebelumnya termasuk katarak, uveitis, Diabetic retinopathy, oklusi vaskular, pembedahan okular sebelumnya dan trauma kepala), riwayat kesehatan (penyakit sistemik), pengobatan yang sedang dilakukan (yang secara tidak langsung dapat meningkatkan TIO seperti pengobatan hipertensi atau kortikosteroid), dan adanya faktor resiko glaucomatous optic neuropathy; faktor resiko kuat yaitu adanya riwayat peningkatan TIO, usia lanjut terutama setelah 50 tahun, miopi dan riwayat keluarga dengan glaukoma. Ketika menanyakan riwayat keluarga dengan glaukoma harus lebih spesifik seperti hubungan dengan keluarga, apakah ada penurunan lapangan pandang, apakah terkontrol dengan obat atau memerlukan pembedahan. Terdapat juga faktor resiko possible yaitu penyakit sistemik, kardiovaskular, diabetes mellitus.[3]

2.6.2 Pemeriksaan Fisik

Evaluasi kesehatan mata secara komprehensif dengan pemeriksaan fisik spesifik yang memfokuskan pada pupil, segmen anterior, TIO, ketebalan kornea sentral, evaluasi nervus optikus dan serat saraf retinal, dan lapangan pandang.[4][6]

Pupil diperiksa reaktifitasnya dan defek pupil aferen. Segmen anterior diperiksa dengan menggunakan slit-lamp biomicroscopic yang dapat memberikan penemuan yang berhubungan dengan sudut sempit, patologi kornea, atau mekanisme sekunder peningkatan TIO seperti pseudoexfoliation, pigment dispersion, iris dan angle neovascularization, atau inflammation.[6]

Hasil dari penelitian randomized controlled trials memperlihatkan bukti bahwa menurunkan TIO menghambat progresi dari kerusakan nervus optikus glaukomatous. Oleh karena itu TIO diukur pada kedua mata, diutamakan dengan menggunakan metode aplanasi kontak (Goldmann tonometer) sebelum dilakukan gonioskopi atau dilatasi dari pupil. Waktu dari pengukuran harus dicatat karena adanya variasi diurnal dari TIO. Pengukuran dapat memiliki makna dengan menentukan fluktuasi diurnal TIO, pada hari yang sama atau hari yang berbeda, dimana ketika terlihat adanya kerusakan diskus yang melebihi nilai yang diharapkan pada TIO tunggal yang terukur.[6] Rentang normal TIO adalah 10-24 mmHg, enam puluh sampai tujuh puluh persen pasien memiliki TIO lebih dari 22 mmHg namun pembacaan TIO tunggal yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan glaukoma karena sampai 25% pasien mempunyai nilai normal TIO pada pengukuran pertama TIO dan 30-40% pasien glaukoma memiliki TIO <21 mm Hg. Berkebalikan dengan hal ini, jika ada peningkatan TIO maka bukan berarti pasien tersebut menderita glaukoma dikarenakan peningkatan TIO harus digabungkan dengan penemuan klinis yang lain. Jika pasien memiliki peningkatan TIO dengan gambaran fundus yang normal maka pasien tersebut dapat dimasukkan sebagai suspek glaukoma.[4][5]

Pengukuran ketebalan kornea sentral (pachymetry) membantu interpretasi dari pengukuran hasil TIO dan stratifikasi resiko pasien. Metode pengukuran termasuk ultrasonic dan optical pachymetry. Diagnosis POAG memerlukan evaluasi yang cermat dari sudut ruangan anterior untuk mengeksklusikan sudut tertutup atau penyebab sekunder yang dapat menyebabkan peningkatan TIO, seperti angle recession, pigment dispersion, peripheral anterior synechiae, angle neovascularization, dan trabecular precipitates. Terdapat bukti bahwa perubahan glaukomatous terdeteksi dengan analisis diskus optikus dan lapisan serat saraf retinal dapat mendahului perubahan yang terdeteksi dengan menggunakan standard automated perimetry. Pemeriksaan dari nervus optikus dan lapisan serat saraf retinal menyediakan informasi yang berguna mengenai kerusakan nervus optikus glaukomatous. Perubahan struktural yang terlihat pada nervus optikus atau lapisan serat saraf retinal dan atropi choroid peripapillary seringkali muncul sebelum adanya kehilangan lapangan pandang. Pengamatan yang cermat dari optic disc neural rim untuk adanya perdarahan kecil sangat penting, karena perdarahan ini dapat mendahului hilangnya lapangan pandang dan kerusakan nervus optikus lebih jauh. Tehnik yang dipilih untuk evaluasi nervus optikus dan lapisan serat saraf retina dengan menggunakan visualisasi stereoskopi yang diperbesar (the slit-lamp biomicroscope) melalui pupil yang terdilatasi. Direct ophthalmoscopy dapat berguna pada beberapa kasus sebagai tambahan terhadap magnified stereoscopic visualization, yang menyediakan informasi yang lebih baik pada nervus optikus dikarenakan besarnya pembesaran dengan menggunakan direct ophthalmoscope. Iluminasi bebas cahaya merah dapat membantu evaluasi lapisan serat saraf retinal, dan inabilitas untuk mendilatasi dari pupil harus didokumentasikan. Color stereophotography atau analisis gambar berbasis computer dari nervus optik dan lapisan serat saraf retinal adalah metode terbaik yang dapat mendokumentasikan morfologi diskus optikus, dan ketika dapat dilakukan harus dilakukan, jika tidak terdapat alat ini maka nonstereoscopic photograph atau gambaran terperinci dari nervus optikus harus dicatat, namun metode ini kurang diinginkan sebagai metode alternatif stereophotography atau computer-based imaging. Pemeriksaan dari fundus, melalui pupil yang terdilatasi, termasuk pencarian abnormalitas yang memperlihatkan adanya visual field defects (contohnya optic nerve pallor, tilted disc, disc drusen, optic nerve pits, optic nerve hypoplasia, neurological disease, macular degeneration, dan other retinal disease).[6] Atropi optik glaukomatous mempunyai karakteristik pembesaran cup dengan pallor pada area cupping, bentuk lainnya dari atropi optik adalah penyebaran pallor tanpa peningkatan disk cupping. Pada glaukoma pembesaran optic cup terjadi secara konsentris atau terdapat fokal notching terutama pada daerah superior dan inferior. Kedalaman optic cup juga bertambah, dan ketika terjadi cupping oleh karena penipisan dari neurosensory rim seiring waktu, penipisan lebih besar pada daerah nasal daripada temporal, pembuluh darah bergeser ke arah nasal, sebagai hasil akhirnya adalah yang biasa disebut sebagai “bean pot” dimana tidak terlihatnya lagi neural rim. Ketika adanya penurunan lapangan pandang atau peningkatan TIO maka C/D ratio yang lebih besar dari 0,5 atau adanya asimetri antara kedua mata menandakan adanya glaukomatous atropi. Tanda lainnya adalah atropi serat saraf retinal yang mendahului perubahan optic disk (Hoyt’s sign) dan bayoneting (angulasi yang tajam dari pembuluh darah ketika berjalan keluar dari nervus optikus).[4][5]

Hilangnya lapangan pandang tidak bersifat spesifik, dikarenakan adanya keadaan lain yang dapat menyebabkan hilangnya lapangan pandang, namun pola hilangnya lapangan pandang, progresinya dan korelasi dengan perubahan optic disk merupakan karakteristik dari glaukoma. Hilangnya lapangan pandang pada glaukoma terutama melibatkan 300 central dari lapangan pandang. Perubahan awalnya yaitu berupa baring dari blind spot, berlanjut pada bjerrum’s area (150 dari fiksasi), yang mengakibatkan terjadinya bjerrum skotoma kemudian menjadi arcuate scotoma yang menyebar dari blind spot kearah nasal dan pada penemuan lanjut dapat hanya tersisa lapangan pandang pada daerah temporal. Hilangnya lapangan pandang bermula dari perifer bagian nasal dikarenakan konstriksi dari isopters. Tajam penglihatan sentral bukan merupakan index yang dapat diandalkan menjadi tanda progresifitas penyakit, karena pada tahap akhir stadium penyakit, pasien dapat memiliki ketajaman sentral yang normal, tetapi penglihatan perifer hanya 50. [4][5] Automated static threshold perimetry merupakan tehnik yang diutamakan untuk mengevaluasi lapangan pandang. Threshold testing manual kombinasi kinetik dan statik secara cermat merupakan alternatif yang dapat diterima ketika pasien tidak dapat menggunakan automated perimetry atau tidak tersedianya alat. Penyebab hilangnya lapangan pandang selain glaukoma harus dicari selama anamnesa dan pemeriksaan fisik. Tes lapangan pandang berdasarkan short wavelength automated perimetry dan frequency doubling technology dapat mendeteksi defek lebih dini dibandingkan perimetri konvensional, dan sangat penting untuk menggunakan strategi pemeriksaan yang konsisten ketika tes lapangan pandang dilakukan berulang.[6]

2.6.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sesuai dengan yang di perlukan untuk menilai gejala klinisnya yaitu tonometri, gonioskopi, ophthalmoscopy, dan pemeriksaan lapangan pandang. [5]

Tonometry merupakan prosedur sederhana yang digunakan untuk mengukur TIO. Tes ini biasanya merupakan tes permulaan untuk screening glaukoma. Terdapat dua tehnik yang biasa digunakan, yaitu air-puff dan applanation. Air-puff tonometry menggunakan hembusan udara untuk mengukur kekuatan yang diperlukan untuk menggerakkan kornea, applanation tonometer merupakan alat yang rumit yang biasanya digabungkan dengan slit lamp. Pada applanation tonometer, kekuatan yang diperlukan untuk mendatarkan area yang kecil pada kornea diterjemahkan kedalam TIO. Mata normal mempunyai tekanan normal 10-21 mmHg, dengan rata-rata 14-16 mmHg. [5] [8]

Ophthalmoscopy digunakan untuk memeriksa keadaan dalam mata, terutama nervus optikus. Pada ruangan yang gelap dapat membantu untuk melihat bentuk dan warna dari nervus optikus. Jika tekanan pada mata tidak normal, atau terdapat gambaran nervus optikus tidak normal, maka tes lainnya akan digunakan, yaitu perimetry and gonioscopy. [5] [8]

Gonioscopy merupakan tes mata yang tidak menyakitkan dimana dapat memberi informasi mengenai sudut iridokorneal. Tes ini menggunakan lensa khusus yang mempunyai kaca bersudut yang diletakkan di depan mata untuk memeriksa sudut iridokorneal.[8] Jika dengan menggunakan gonioskopi dapat terlihat seluruh trabecular meshwork, scleral spur, dan prosesus iris maka sudut terbuka penuh, tetapi jika hanya dapat melihat schwalbe line, maka sudutnya menjadi menyempit. [5]

Berbagai macam cara untuk menilai lapangan pandang, yaitu dengan menggunakan automated perimeter, goldmann perimeter, friedman field analyzer, dan menggunakan tangent screen.[5] The Goldman perimetry tes biasanya disebut juga tes lapangan pandang. Komputer tidak digunakan pada tes ini. Selama tes dilakukan, pasien melihat lurus kedepan kemudian mengidentifikasi jika ada cahaya yang bergerak pada penglihatan perifer, hal ini dapat membantu menggambarkan lapangan pandang mata. Metode lainnya, disebut sebagai tangent screen perimetry, pasien melihat sebuah target pada layar didepannya kemudian digerakkan objek pada lokasi yang berbeda. Tehnik lainnya adalah dengan menggunakan computerized visual field, perbedaannya hanya terdapat pada komputer yang akan menggambarkan lapangan pandang. [8]

Pada beberapa tahun terakhir terdapat tiga tehnik pencitraan nervus optikus yang tersedia atau disebut juga Optic Nerve Computer Imaging, yaitu scanning laser polarimetry (GDx), confocal laser ophthalmoscopy (Heidelberg Retinal Tomography or HRT II), dan optical coherence tomography (OCT). Mesin GDx tidak secara langsung menggambarkan keadaan nervus optikus namun dengan mengukur ketebalan lapisan serat saraf pada permukaan retina tepat sebelum serat melintasi batas nervus optikus untuk membentuk nervus optikus. The HRT II memindai permukaan retina dan nervus optikus dengan sinar laser, tehnik ini dapat menggambarkan gambaran tiga dimensi dari nervus optikus termasuk bentuk dari optic cup, lapisan serat saraf juga diukur. Instrumen OCT menggunakan tehnik yang disebut sebagai optical coherence tomography yang menciptakan bayangan dengan menggunakan cahaya khusus. Mesin OCT membentuk kontur dari nervus optikus, optic cup dan mengukur ketebalan serat saraf retinal. Ketiga mesin ini dapat mendeteksi hilangnya serat saraf optic. [8]

Pachymetry merupakan tes yang sederhana, cepat, tak menyakitkan untuk mengukur ketebalan kornea. Prosedur ini hanya membutuhkan waktu satu menit untuk memeriksa kedua mata. Ketebalan kornea merupakan faktor penting untuk mendiagnosa glaukoma secara akurat. Jika ketebalan kornea tinggi maka pengukuran tekanan mata akan terlihat tinggi meskipun tidak memiliki glaukoma. Berkebalikan, jika pasien mempunyai kornea yang tipis maka pengukuran tekanan mata akan terlihat rendah, meskipun tedapat glaukoma. Seringkali pasien dengan kornea yang tipis (kurang dari 555 µm) menunjukkan pembacaan TIO yang rendah. Hal ini sangat berbahaya, karena jika TIO yang sebenarnya sangat tinggi dari yang terukur maka diagnosa akan dapat terlambat, dan jika tak tertangani maka TIO yang tinggi tersebut dapat mengakibatkan kerusakan mata yang lebih luas.[8]

2.7 Penatalaksanaan

TIO dapat diturunkan dengan penggunaan obat obatan, laser, filtering, atau pembedahan cyclodestructive. Pilihan terapi tergantung pada beberapa pertimbangan. Pada banyak keadaan, pengobatan dimulai dengan penggunaan obat topikal sebagai terapi initial (supresi produksi humor aqueous dengan beta bloker, memperlancar penyerapan dengan menggunakan agen parasimpatomimetik, analog prostaglandin, dan pengurangan volume humor vitreus dengan menggunakan agen hiperosmotik), namun penggunaan laser trabeculoplasty juga merupakan alternatif bagi terapi pendahuluan. Pembedahan filtering efektif untuk menurunkan TIO dan seringkali merupakan terapi alternatif pendahuluan dibandingkan dengan penggunaan obat obatan atau laser trabeculoplasty. [5]

2.7.1 Terapi Farmakologi

Ketika terdiagnosa dengan glaukoma, maka harus diobati meskipun mempunyai tekanan intraokular yang normal. Di Amerika Serikat, agen farmakologi merupakan lini pertama terapi. Agen yang digunakan untuk terapi glukoma dirancang untuk menurunkan TIO. Obat ini mengurangi produksi humor aqueous atau meningkatkan penyerapan humor melalui trabeculum meshwork atau uveoscleral pathways.[7]

Analog prostaglandin dan beta adrenergic antagonist merupakan terapi farmakologi yang paling sering digunakan untuk menurunkan TIO pada pasien dengan glaukoma. Agen yang jarang digunakan termasuk alpha-2 adrenergic agonists, carbonic anhydrase inhibitors topikal dan oral, dan parasympathomimetics. Untuk menentukan keefektifan dari terapi topikal, sangat perlu untuk menentukan dampak terapi dari agen terhadap TIO dan fluktuasi normal dari TIO. Dapat berguna juga untuk memulai terapi pada hanya satu mata dan membandingkan perubahan relatif terhadap TIO pada kedua mata karena kedua mata dari individual dapat tidak memberi respon yang sama terhadap medikasi, dan kemungkinan adanya fluktuasi spontan asimetri dan potensial untuk efek kontralateral dari medikasi topikal monokular. Merupakan alternatif yang dapat diterima untuk membandingkan efek pada satu mata relatif terhadap pengukuran dasar yang multipel. Jika obat tersebut gagal untuk menurunkan TIO, maka harus diganti dengan agen alternatif sampai medikasi yang efektif tercapai.[6]

Pasien yang mendapat regimen terapi maksimal dapat memberikan sampai empat macam obat dari kelas yang berbeda. Dokter harus mengetahui jalur primer absorpsi sistemik untuk pengobatan topikal dan potensial efek sampingnya. Obat yang diberikan pada mata secara cepat dialirkan kepada duktus nasolakrimal pada hidung kemudian melalui muksa nasal yang mempunyai vaskularisasi tinggi. Kemudian obat memasuki sirkulasi sistemik tanpa melalui first-pass metabolisme pada hepar. Absorpsi sistemik dapat menghasilkan efek samping, terutama pada pasien yang juga melakukan pengobatan antihipertensif dan antiaritmia. Dokumentasi medikasi okular dapat bernilai dalam evaluasi penyakit seperti konjungtivitis, asma, syncope, depresi dan sexual dysfunction. [7]

Kepatuhan terapi topikal glaukoma tergantung dari seberapa besar pasien mengetahui mengenai efek dari terapi, jumlah dan sejauh mana efek samping yang akan terjadi. Kondisi okular dan sistemik yang telah ada sebelumnya juga mempengaruhi kepatuhan. Faktor lainnya adalah seberapa banyak jumlah medikasi yang harus diberikan pada mata, frekuensinya, dan harga dari obat. Faktor lainnya yang mempengaruhi efikasi dari pengobatan adalah derajat obat topikal yang akan hilang dikarenakan penyerapan yang berlebihan dan berkedipnya mata. [7]

2.7.1.1 BetaBlockers

Beta bloker yang diberikan secara topikal merupakan dasar pengobatan glaukoma selama dua dekade. Timolol maleate (Timoptic) merupakan obat standar dibandingkan obat lainnya dalam hal efikasi, efek samping dan biaya. Beta bloker menurunkan TIO dengan menurunkan produksi humor aqueous pada ciliary body. Obat ini juga dapat meningkatkan sedikit penyerapan aqueous outflow. [7]

Meskipun timolol yang diberikan secara topikal direkomendasikan sebagai terapi lini utama, kerja dan efek samping dari obat ini membatasi penggunaannya. Timolol dan beta bloker lainnya dapat memicu serangan asma, termasuk status asmatikus, memperburuk gagal jantung, henti jantung dan kematian mendadak. Karena obat ini juga dapat menutupi manifestasi sistemik dari hipoglikemia, maka penggunannya harus berhati hati pada pasien dengan pasien diabetes melitus. Blikade sentral dari obat ini juga dapat mengakibatkan disritmia dan depresi, seperti yang biasa terlihat pada pengobatan secara oral. Impotensi juga merupakan efek samping pengobatan topikal yang telah diketahui. efek samping ini dapat mengakibatkan pasien tidak melanjutkan medikasi. [7]

Betaxolol (Betoptic), beta boker kardioselektif, mempunyai efek samping cardiopulmonary yang lebih baik daripada timolol. Namun dikarenakan timolol memiliki efek menurunkan TIO yang superior maka seringkali direkomendasikan daripada betaxolol jika efek cardiopulmonary bukan merupakan masalah. Beberapa penelitian mengenai betaxolol memperlihatkan efek mempertahankan lapangan pandang yang lebih baik. Betaxolol dipasarkan dalam bentuk suspensi (Betoptic S) dengan konsentrasi medikasi yang rendah dan dilaporkan menurunnya efek samping sistemik dibandingkan dengan solusi yang sama. Beta bloker topikal lainnya termasuk metipranolol (Optipranolol), carteolol (Ocupress) dan levobunolol (Betagan). Beta bloker diberikan dua kali sehari, meskipun pada beberapa pasien pemberian satu kali sehari dapat efektif. Solusi berbentuk gel dari timolol maleate (Timoptic-XE) memiliki kelebihan pada pemakaian satu kali sehari, obat ini tampaknya menjadi terapi pilihan pada pasien yang dapat mentolerir beta bloker. [7]

2.7.1.2 Miotics

Pilocarpine (Isopto Carpine), diisolasi dari daun tanaman Pilocarpus pada abad ke 19th, dan merupakan terapi glaukoma yang pertama kali digunakan pada tahun 1956. Miotics (acetylcholine agonists dan cholinesterase inhibitors) diyakini mempromosikan penyerapan humor aqueous dengan mongkontraksi otot ciliary dari mata. Efek samping seperti akomodasi spasme, brow-ache dan myopia lebih sering terjadi pada pasien muda yang menjalani terapi miotics. Pada pasien dengan katarak, miotics dapat menyebabkan disabilitas fungsional yang menurun selama siang hari dan mungkin lebih signifikan pada saat penglihatan malam. Efek sistemik cholinergic seperti mual, muntah, berkeringat dan vasodilatasi kutaneus dapat muncul. Terapi pilocarpine relatif tidak mahal. Terlebih lagi, insiden yang tinggi dari efek samping dan ketidaknyamanan dengan pemakaian empat kali perhari menjadikan pilokarpin kurang popular dari obat lainnya dalam terapi glaukoma. Pilocarpine dalam bentuk vehikel continuous-release yang diberikan satu kali seminggu pada conjunctival sac bagian bawah terlihat menjanjikan tetapi tidak mendapat popularitas dikarenakan obat tersebut cenderung keluar dari mata. [7]

2.7.1.3 Carbonic Anhydrase Inhibitors

Carbonic anhydrase inhibitors yang diberikan secara oral telah lama digunakan untuk manajemen POAG yang refrakter terhadap obat lainnya. Agen seperti acetazolamide (Diamox) dan methazolamide (Neptazane) menurunkan sekresi humor aqueous pada epitel ciliary. Penggunaan carbonic anhydrase inhibitors dibatasi oleh efek sampingnya yang bervariasi dari kelelahan sampai asidosis metabolik, renal calculi dan supresi sumsum tulang. carbonic anhydrase inhibitors yang diberikan secara oral dapat meningkatkan efek dari diuretik dan mengakibatkan deplesi volume dan hipokalemia yang signifikan. Penggunaan bersama salisilat meningkatkan resiko toksisitas salisilat. Dorzolamide (Trusopt) dan brinzolamide (Azopt) merupakan carbonic anhydrase inhibitor topikal pertama yang disetujui oleh FDA untuk terapi POAG. Pemakaian diberikan dua atau tiga kali perhari, Dorzolamide juga dipasarkan dengan kombinasi bersama timolol (Cosopt). Agen ini secara topikal lebih disukai daripada pemakaian oral dikarenakan spesifitas yang lebih tinggi dan efek samping sistemik yang lebih rendah. seperti acetazolamide, dorzolamide dan brinzolamide merupakan derivat sulfonamide. Sehingga terdapat potensial efek samping berupa bone marrow dyscrasias, transaminitis dan reaksi dermatologi yang bervariasi dari hipersensitifitas sederhana sampai stevens-Johnson syndrome. Namun sampai sekarang, agen topikal ini tidak dihubungkan dengan efek samping ini. Dorzolamide dan brinzolamide harus tidak digunakan pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap sulfa, dan tidak direkomendasikan pada pasien dengan gangguan ginjal sedang sampai berat. Efek samping sistemik yang berhubungan dengan pemakaian topikal dorzolamide dan brinzolamide termasuk bitter taste (lebih dari 25% pasien), sakit kepala, mual, asthenia dan kelemahan. Dan dapat muncul nephrolithiasis meskipun sangat jarang. [7]

2.7.1.4 Sympathomimetics

Topikal sympathomimetics dapat digolongkan menjadi epinephrine (stimulasi reseptor α dan β) dan clonidine-like agents (stimulasi reseptor α). Sympathomimetics menurunkan produksi humor aqueous dan meningkatkan penyerapannya. Epinephrine mempunyai efek samping alergi okular yang lebih sering sehingga kurang digunakan pada pasien glaukoma. Dipivefrin (Propine), prodrug dari epinephrine, diberikan dua kali sehari. Meskipun dipivefrin memiliki efek samping okular dan sistemik lebih rendah dibandingkan epinephrine, obat ini telah digantikan oleh clonidine-like agents untuk terapi glaukoma. FDA telah memberikan label dari apraclonidine (Iopidine) untuk digunakan pada manajemen peningkatan semetara dari TIO setelah pembedahan okular. Agen ini berhubungan dengan insiden yang tinggi dari tachyphylaxis (hilangnya efek) dan efek CNS seperti somnolen dan orthostasis. Efek samping alergi okular sangat sering terjadi. Sehingga obat ini penggunaannya menjadi terbatas pada penggunaan kronik POAG. Brimonidine (Alphagan) telah disetujui untuk mempertahankan terapi glaukoma dan cocok untuk digunakan sebagai obat tunggal. Obat ini memiliki efek samping CNS dan okular yang lebih rendah dibandingkan apraclonidine. Peningkatan selektifitas brimonidine untuk α2-receptor dipostulasikan menurunkan TIO dengan membatasi produksi humor aqueous dan memfasilitasi meningkatnya penyerapan melalui jalur uveoscleral. Tachyphylaxis muncul sangat jarang pada pemakaian brimonidine dibandingkan dengan pemakaian apraclonidine. Keterbatasan penggunaan dari brimonidine termasuk jadwal pemakaian (dua atau tiga kali sehari) dan biayanya. Pemakaian bersana dengan monoamine oxidase inhibitors di kontraindikasikan karena resiko memicu hipertensi krisis. [7]

2.7.1.5 Prostaglandin Analogs

Latanoprost (Xalatan) baru-baru ini digunakan untuk pasien glaukoma. Agen ini merupakan salah satu dari prostaglandin analogs, agen dengan kelas terbaru untuk terapi glaukoma. Latanoprost diberikan satu kali perhari saat akan tidur. Penurunan TIO setara dengan pemakaian timolol dua kali sehari. Bila dibandingkan dengan timolol, latanoprost mempunyai efek samping sistemik dan lokal yang lebih dapat diterima. Perkembangan dari agen prostaglandin ini sebelumnya terhambat dikarenakan efek samping okularnya, terutama hiperemia konjungtival. Seperti dipivefrin, latanoprost (prostaglandin F2alpha analog) merupakan prodrug yang menghasilkan efek klinis yang diinginkan dengan derajat efek samping yang dapat ditoleransi. Latanoprost menurunkan TIO degnan meningkatkan penyerapan humor aqueous pada jalur uveoscleral. Yang menarik adalah latanoprost menurunkan TIO dengan derajat yang besar ketika diberikan satu kali sehari pada sore hari dibandingkan dengan pemberian saat pagi hari atau dua kali perhari. Tidak seperti timolol, latanoprost menunjukkan efek penurunan TIO yang berkelanjutan saat siang dan malam hari. Meningkatnya pigmentasi iris muncul satu dari enam pasien yang ditangani dengan latanoprost dan merupakan fokus utama diskusi mengenai efek samping yang muncul pada obat ini. Iris yang mempunyai warna campuran (contohnya coklat abu abu atau coklat hijau) memiliki resiko yang tinggi untuk efek samping ini, dikarenakan meningkatnya produksi melanin. Karena melanosit tidak di stimulasi, perubahan warna tidak dihubungkan dengan meningkatnya resiko melanoma. Perubahan warna bersifat stabil dan tidak bersifat reversibel meskipun setelah penghentian obat. Pada sebuah laporan kasus latanoprost dihubungkan dengan iritis, hipotoni dengan efusi choroid dan cystoid macular edema. Keterbatasan penggunaannya ditambah dengan harganya dan kemasannya yang kecil (2.5 mL). [7]

Medikasi

topikal

Efek samping

okular

Efek samping

sistemik

kontraindikasi

Interaksi obat

keterangan

Timolol maleate (Timoptic, Timoptic-XE)

Burning/stinging; transient blurred vision (increased with gel); photophobia; conjunctivitis; blepharitis; punctate keratitis; contact dermatitis; eyelid erythema

Decreased heart rate/cardiac output; bronchospasm; hypotension; depression; decreased libido; impotence; worsened lipid profile; decreased stress response to hypoglycemia, surgery or anaphylaxis

Asthma; chronic obstructive pulmonary disease; congestive heart failure; sinus bradycardia; second- or third-degree atrioventricular block; hypersensitivity to beta blockers

Use cautiously with oral beta blockers, calcium channel blockers, quinidine, digitalis and catecholamine-depleting drugs (e.g., reserpine)

Lack of nocturnal effect; tachyphylaxis

Levobunolol (Betagan)

Increased relative to timolol

Same as timolol

Same as timolol, plus hypersensitivity to sulfite preservative

Same as timolol

Largest drop size

Carteolol (Ocupress)

Same as timolol

Same as timolol

Same as timolol

Same as timolol

Some intrinsic sympathomimetic activity

Metipranolol (Optipranolol)

Has the most ocular side effects of the beta blockers in this class; anterior uveitis

Same as timolol

Same as timolol

Same as timolol

Betaxolol (Betoptic, Betoptic S)

Increased relative to timolol

Rare; fewer cardiopulmonary side effects than timolol

Sinus bradycardia; second- or third-degree atrioventricular block; overt congestive heart failure

Same as timolol, plus may antagonize adrenergic psychotropic drugs such as thioridazine (Mellaril)

Pilocarpine (Isopto Carpine, Ocusert Pilo)

Burning; blurred vision; difficulty with night vision; miosis or accommodative spasm; lens opacity (rare); retinal detachment (rare); precipitation of closed-angle glaucoma (rare)

Sweating; salivation; urinary frequency; nausea; diarrhea; bronchospasm; biliary colic; mental status change; variable cardiovascular response

Hypersensitivity; poorly controlled asthma; acute iritis

May precipitate if administered with sodium sulfacetamide

Blurred vision increased with gel; miosis decreased with Ocusert Pilo; retinal detachment increased in patients with myopia; use with caution in patients with cataracts, hyper-thyroidism, parkinsonism or urinary tract obstruction

Dorzolamide (Trusopt)

Burning; punctate keratitis; ocular allergies; increased ocular side effects relative to timolol

Bitter taste; headache; nausea; asthenia; kidney stones (rare)

Hypersensitivity to sulfonamides; eye injury or surgery

Not recommended for use with systemic carbonic anhydrase inhibitors; may accentuate side effects of salicylate therapy; may promote excretion of acidic drugs and inhibit renal excretion of basic drugs

Contact lenses must be removed; may be reinserted 15 minutes after installation of medication; not studied in patients with hepatic or renal dysfunction

Brinzolamide (Azopt)

Possibly decreased ocular side effects compared with dorzolamide; blepharitis; foreign-body sensation

Bitter taste; headache; rhinitis sensation

Hypersensitivity to sulfonamides

Same as dorzolamide

Same as dorzolamide

Dipivefrin (Propine)

Burning; follicular conjunctivitis; macular edema in patients who are aphakic

Increased blood pressure; arrhythmias; tremor

Narrow-angle glaucoma

Use cautiously with cardiovascular or stimulant medications

Epinephrine prodrug; decreased ocular and systemic side effects relative to epinephrine; use cautiously in patients with cardiovascular disease

Brimonidine (Alphagan)

Conjunctival blanching; ocular allergy (less than with apraclonidine, more than with timolol)

Headache; drowsiness; fatigue; variable blood pressure response

Hypertensive crisis; therapy with monoamine oxidase inhibitors; hypersensitivity to clonidine (Catapres)

Use cautiously with antihypertensive medications and digitalis

Tachyphylaxis (less common); not studied in patients with hepatic or renal dysfunction

Apraclonidine (Iopidine)

Allergic/local reaction; transient change in visual activity

Increased central nervous system effects change visual activity

Same as brimonidine

Same as brimonidine

Tachyphylaxis (common); short-term adjunctive agent, not first-line therapy

Latanoprost (Xalatan)

Burning/stinging; iris pigmentation; punctate keratitis

Headache; symptoms of upper respiratory infection; chest pain (rare); myalgias (rare)

Hypersensitivity; narrow-angle closure; ocular infection or inflammation

May be precipitated by eyedrops that contain thimerosol (antiseptic)

Prodrug; diurnal decrease in intraocular pressure; not studied in patients with hepatic or renal dysfunction

 

2.7.2 Laser trabeculoplasty

Laser trabeculoplasty merupakan sebuah solusi sementara, bukan merupakan terapi definitif. Laser argon 50 μm ditempatkan pada trabecular meshwork untuk menstimulasi pembukaan dari mesh sehingga penyerapan humor aqueous dapat lebih banyak. Biasanya setengah dari sudut iridokorneal ditangani pada satu waktu. Traditional laser trabeculoplasty menggunakan laser argon thermal, prosedur ini disebut sebagai Argon Laser Trabeculoplasty atau ALT. terdapat tipe terbaru dari laser trabeculoplasty yang menggunakan laser non-thermal untuk stimulasi saluran pada trabecular meshwork. Prosedur terbaru ini menggunakan frekuensi ganda 532 nm, Q-switched Nd:YAG laser dimana secara selektif mentargetkan pigmen melanin yang berada pada sel trabecular meshwork, prosedur ini disebut Selective Laser Trabeculoplasty atau SLT. Penelitian menunjukkan bahwa SLT sama efektifnya dengan ALT dalam menurunkan tekanan mata. Sebagai tambahan, SLT dapat diulangi tiga sampai empat kali, sedangkan ALT biasanya hanya diulang satu kali.[9]

Laser trabeculoplasty meningkatkan penyerapan humor aqueous dan memberikan reduksi TIO sampai 75% pada pemakaian pertama kali. Laser trabeculectomy merupakan alternatif bagi pasien yang tidak dapat menggunakan pengobatan topikal dikarenakan biaya, ingatan yang buruk, atau intoleransi terhadap medikasi. Hasil dari penelitian jangka panjang menunjukkan bahwa 30-50% dari mata memerlukan terapi pembedahan tambahan antara 5 tahun setelah laser trabeculoplasty. Untuk mata yang gagal mempertahankan respon yang adekuat, maka laser trabeculoplasty yang diulangi dapat memberikan tingkat sukses dalam jangka panjang. Bila dibandingkan dengan laser trabeculoplasty pertama kali, pengulangan terapi akan meningkatkan resiko komplikasi seperti meningkatnya TIO.[6]

2.7.3 Filtering surgery

Pembedahan konvensional yang paling sering dilakukan adalah trabeculectomy. pada prosedur ini dilakukan partial thickness flap pada dinding sklera, dan sebuah jendela dibuka dibawah flap untuk mengangkat bagian kecil dari trabecular meshwork. Kemudian flap sklera dijahit pada tempatnya secara longgar. Hal ini akan mengakibatkan aliran keluar humor dari mata melalui celah ini, yang menghasilkan turunnya tekanan intraokular dan terbentuknya gelembung cairan (bleb) pada permukaan mata. Dapat terbentuk jaringan parut disekitar atau pada pembukaan flap, yang menyebabkan aliran kurang efektif. Pada satu orang dapat memiliki prosedur pembedahan multipel dengan tehnik yang sama atau berbeda.[9]

Filtering surgery memberikan alternatif jalan keluar bagi humor aqueous, dan seringkali menurunkan TIO dan menurunkan kebutuhan terapi farmakologi. Perkiraan yang terbaik dalam tingkat kegagalan pembedahan filtering tunggal atau kombinasi dengan terapi farmakologis dari the Advanced Glaucoma Intervention Study, memperlihatkan bahwa pada jangka waktu 10 tahun terdapat kegagalan 30% pada pasien African American dan 20% kegagalan pada pasien Caucasian American. Terapi ini juga meningkatkan kemungkinan mata phakic akan menjalani pembedahan katarak. Pada mata yang telah menjalani pembedahan yang melibatkan konjungtiva, tingkat kesuksesan dari pembedahan menurun. Antifibrotic agents dapat digunakan intraoperatif dan postoperatif untuk menurunkan subkonjungtival scarring setelah filtration surgery yang dapat mengakibatkan kegagalan pembedahan. Penggunaan intraoperatif mitomycin C menurunkan resiko kegagalan pada mata yang memiliki resiko kegagalan dan pada mata yang tidak pernah mendapat terapi pembedahan sebelumnya. Penggunaan agen antifibrotic meningkatkan komplikasi yang berhubungan dengan bleb seperti hypotony, hypotony maculopathy, late-onset bleb leak, dan late-onset infection yang harus dipikirkan sebelum menggunakan agen ini. komplikasi juga lebih sering terjadi pada pasien yang menjalani filtering surgery primer dari pasien phakic. Non penetrating glaucoma surgery digunakan sebagai altenatif trabeculotomy pada beberapa pasien. Terdapat dua bentuk dari pembedahan glaukoma nonpenetrating yaitu viscocanalostomy dan non penetrating deep sclerectomy. Rasionalisasi untuk menggunakan nonpenetrating glaucoma surgery adalah dengan menghindari aliran berkelanjutan dari ruangan anterior pada ruangan subkonjungtival, sehingga insiden komplikasi yang berhubungan dengan bleb dapat diturunkan. Prosedur nonpenetrating mempunyai derajat yang tinggi dari kesulitan pembedahan dibandingkan trabeculotomy dan membutuhkan peralatan khusus. Pada penelitian randomized clinical trials yang membandingkan antara viscocanalostomy dengan trabeculectomy memperlihatkan tingginya reduksi TIO dan komplikasi yang lebih tinggi dari trabeculectomy dibandingkan viscocanalostomy. Pada satu penelitian randomized clinical trial menemukan bahwa trabeculectomy lebih efektif dari nonpenetrating deep sclerectomy dalam menurunkan TIO, namun pada dua penelitian lainnya menemukan bahwa kedua tehnik ini sama efektifnya. Peranan dari nonpenetrating surgery dalam manajemen pembedahan masih perlu dikaji kembali. Penggunaan alat drainase secara umum digunakan pada pasien yang telah gagal menjalani filtering surgery dengan antimetabolit atau untuk pasien dimana konjungtiva banyak jaringan scar dari pembedahan sebelumnya dimana akan terjadi resiko tinggi untuk kegagalan filtering surgery dengan antimetabolites. [6]

Pasien yang membutuhkan filtration surgery dan memiliki katarak mendapatkan keuntungan dari pembedahan katarak dan glaukoma yang dilakukan secara simultan, seperti pada pasien glaukoma terkontrol yang mempunyai katarak berat. Secara umum, pembedahan kombinasi katarak dan glaukoma tidak seefektif seperti pembedahan glaukoma tunggal dalam menurunkan TIO, sehingga pasien yang membutuhkan filtration surgery dan juga memiliki katarak ringan sebaiknya dilakukan filtration surgery dahulu, kemudian pembedahan untuk katarak di kemudian hari. Penggunaan mitomycin C, tetapi tidak termasuk 5-flurouracil, menghasilkan TIO yang rendah pada pembedahan kombinasi. Pemisahan insisi katarak dan glaukoma menghasilkan TIO yang lebih rendah dibandingkan dengan prosedur kombinasi pada satu lokasi insisi, tetapi perbedaan hasil akhir tidak berbeda jauh. Pembedahan katarak tunggal seringkali menghasilkan penurunan sedang dari TIO. Perencanaan sebelum dilakukannya filtering surgery termasuk setidaknya satu evaluasi preoperatif dan informed consent sebelum pembedahan. Ophthalmologist yang melakukan pembedahan harus memastikan bahwa pasien mendapat perawatan post operatif yang adekuat, termasuk penggunaan kortikosteroid pada periode postoperatif, terkecuali adanya kontraindikasi; evaluasi follow-up pada hari pertama postoperatif (12 sampai 36 jam setelah pembedahan) dan setidaknya satu kali kunjungan antara hari kedua sampai kesepuluh untuk evaluasi ketajaman penglihatan, TIO dan status segmen anterior. Ketika tidak ada komplikasi, kunjungan tambahan post operatif selama periode 6 minggu untuk evaluasi ketajaman penglihatan, TIO dan status segmen anterior. Namun jika terdapat komplikasi seperti segmen anterior yang mendatar atau adanya kegagalan bleb, meningkatnya inflamasi, atau terbentuknya tenon’s cyst maka diperlukan kunjungan lebih sering. Terapi tambahan yang diperlukan termasuk prosedur pembedahan untuk memperbaiki ruangan anterior yang mendatar, memperbaiki kebocoran bleb, melakukan pemijatan bleb, atau melakukan revisi pembedahan lainnya untuk memaksimalkan keberhasilan jangka panjang. Pada saat konseling juga harus dijelaskan pada pasien bahwa filtration surgery akan memberikan resiko endophtalmitis pada mata selama hidup pasien, dan pasien harus memperhatikan adanya tanda tanda nyeri, penurunan penglihatan, mata merah dan belekan sebagai kedaruratan medis yang memerlukan penanganan medis.[6]

2.7.4 Cyclodestructive surgery

Prosedur cyclodestructive menurunkan tingkat produksi humor aqueous. Pada beberapa tahun terakhir prosedur cyclodestructive banyak dilakukan dengan menggunakan transscleral laser delivery system namun prosedur ini juga dapat dilakukan secara endoscopically. Karena prosedur cyclodestructive berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan, dan kasus sympathetic ophthalmia meskipun jarang, maka prosedur ini dilakukan pada pasien yang memiliki ketajaman penglihatan yang menurun dan bukan merupakan kandidat pembedahan insisi. Pada penelitian berskala kecil dengan pengamatan selama setidaknya 13 bulan menunjukkan hasil yang baik dalam mempertahankan ketajaman penglihatan pada kebanyakan mata setelah laser cyclophotocoagulation. Kerugian dari prosedur cyclodestructive termasuk inflamasi postoperatif dan perlunya tambahan terapi pada beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian. Prosedur cyclodestructive memiliki kelebihan dibandingkan dengan filtration surgery dikarenakan tehnik yang mudah, pemulihan yang cepat, kurangnya perawatan postoperatif, dan menurunnya kemungkinan komplikasi berupa perdarahan dan infeksi. Kelebihan dan kekurangan dari prosedur cyclodestructive dibandingkan dengan operasi filtration atau prosedur tube shunt harus didiskusikan bersama pasien yang merupakan kandidat yang kurang baik dari pembedahan, memiliki potensial penglihatan yang terbatas dan yang telah menjalani berbagai operasi glaukoma sebelumnya. [6]

2.7.5 Canaloplasty

Canaloplasty merupakan prosedur nonpenetrating yang menggunakan tehnologi mikrokateter. Untuk melakukan canaloplasty, dibuat sebuah insisi pada mata untuk dapat mencapai kanalis schlemm’s dengan cara yang sama seperti viscocanalostomy. Mikrokateter akan menelusuri kanal sepanjang iris, membesarkan saluran drainase utama dan kolektor yang berukuran kecil dengan menginjeksikan material steril seperti gel yang disebut viscoelastic. Kemudian kateter diangkat dan ditempatkan diantara kanal dan dikencangkan. Dengan melebarkan saluran, diharapkan tekanan didalam mata dapat menurun, meskipun alasan ini tampaknya belum jelas, karena pada mata sehat atau glaukoma kanalis schlemm’s tidak mempunyai resistensi cairan yang signifikan.[9]

2.7.6 Glaucoma drainage implants

Terdapat beberapa macam drainase implant yang berbeda. Termasuk Molteno implant, the Baerveldt tube shunt, atau implant berkatup seperti the Ahmed glaucoma valve implant atau the ExPress Mini Shunt dan pressure ridge Molteno implants. Implant ini diindikasikan pada pasien yang tidak mempunyai respon maksimal terhadap terapi farmakologi, dengan filtering surgery (trabeculectomy) yang telah gagal sebelumnya. Sebuah pipa kecil dimasukkan kedalam bilik anterior dan plat diletakkan dibawah konjungtiva untuk dapat mengalirkan humor aqueous. Generasi pertama Molteno dan implant lainnya yang tidak berkatup seringkali membutuhkan ligasi pada pipa sampai terbentuknya bleb yang terfibrosis dan kedap air. Hal ini dilakukan untuk menurunkan hipotoni post-operatif (penurunan mendadak TIO post-operatif). Implant yang berkatup seperti Ahmed glaucoma valve mengontrol terjadinya hipotoni post-operatif dengan menggunakan katup mekanik. Jaringan parut yang terjadi pada segmen konjungtiva yang berhubungan dengan shunt mungkin jadi terlalu kecil sehingga humor dapat melewatinya, dalam hal ini diperlukan pencegahan dengan medikasi anti-fibrotik dengan menggunakan 5-fluorouracil (5-FU) atau mitomycin-C (selama pembedahan), atau dibutuhkannya pembedahan tambahan.[9]

2.8 Manajemen

2.8.1 Population screening

Pengukuran TIO bukan merupakan metode yang efektif untuk screening populasi pda glaukoma. Menggunakan TIO diatas 21 mmHg, sensitivitas POAG dengan menggunakan tonometri sebesar 47.1% dan spesifitas sebesar 92.4% pada suatu populasi survey. Penelitian berbasis populasi memperlihatkan bahwa setengah dari individual dengan POAG memiliki TIO dibawah 22 mmHg, batas screening yang biasanya digunakan. Lebih jauh lagi, setengah dari individual dengan POAG memiliki TIO dibawah 22 mmHg pada screening tunggal. Sebagai tambahan, kebanyakan individu dengan TIO yang meningkat pada saat pengukuran tidak memliki atau tidak pernah terjadi kerusakan nervus optikus, meskipun resiko meningkat seiring dengan peningkatan TIO. Penelitian menunjukkan bahwa sekitar satu dari 10 sampai 15 individu dengan peningkatan TIO saat screening memperlihatkan kerusakan nervus optikus, dan setengah dari ini (satu pada 20-30 individu) tidak didiagnosa sebagai glaukoma. Hasil dari the Ocular Hypertension Treatment Study menunjukkan bahwa sekitar 90% dari peningkatan TIO yang tidak ditangani dengan rentang 24 -32 mmHg tidak memiliki glaukoma pada follow up 5 tahun. Metode screening lainnya berdasarkan pemeriksaan gambaran nervus optik dan lapisan serat saraf retina. Keduanya, yaitu pemeriksaan fundus dan TIO dapat digunakan sebagai tehnik screening. Sementara beberapa peneliti melaporkan tingginya sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan diskus, peneliti lainnya mempunyai pendapat yang berbeda. Metode ketiga untuk screening adalah dengan menggunakan tes lapangan pandang. Tes lapangan pandang telah digunakan sebagai screening berskala besar namun tidak diketahui tingkat sensitivitas dan spesifitasnya. Perimetri berdasarkan frequency doubling technology dirasakan menjanjikan sebagai alat screening untuk mendeteksi kerusakan glaukomatous sedang. Pada sebuah klinik berbasis populasi terlihat bahwa frequency doubling technology mengidentifikasi 91% mata abnormal dengan menggunakan Glaucoma Hemifield Test dan 94% suspek glaukoma dengan lapangan pandang normal dengan menggunakan Humphrey Field Analyzer. Waktu tes dengan tehnik ini sekitar satu menit per mata. Ketika digunakan pada screening di jepang, dengan the frequency doubling technology secara tunggal dapat menunjukkan nilai prediktif positif bervariasi sebesar 32.6% dan 45.1% pada 14,814 subjek, sementara nilai prediktif negatif diestimasikan 98.7% pada 4,141 subjek. Karena terdapat distribusi yang luas pengukuran TIO pada populasi umum, screening harus tidak hanya berdasarkan nilai TIO saja. TIO, gambaran nervus optikus, dan status lapangan pandang dapat memberikan bukti yang saling melengkapi, namun jika digunakan untuk screening maka dirasakan tidak praktis. Screening dapat berguna dan efektif ketika digunakan pada populasi dengan resiko tinggi glaukoma, seperti usia lanjut, pasien dengan riwayat glaukoma, dan ras African Americans. Pada tahun 2005, diketahui pentingnya mengidentifikasi pasien dengan glaukoma dan sulitnya screening, sehingga the National Committee for Quality Assurance memperkenalkan pengukuran kualitas kesehatan yang terbaru yang menawarkan Medicare Advantage coverage. Pengukuran ini berdasarkan pemeriksaan mata secara menyeluruh setiap dua tahun pada usia lanjut.[6]

2.8.2 Target Terapi

Tujuan terapi dari glaukoma adalah status nervus optikus/lapisan serat saraf retinal yang stabil, TIO yang terkontrol, dan lapangan pandang yang stabil. Manajemen pasien POAG merupakan hal yang menantang, dikarenakan POAG merupakan penyakit kronik dengan kondisi yang seringkali asimptomatik yang membutuhkan medikasi harian yang multipel dan mahal dengan potensial terjadinya efek samping, atau membutuhkan pembedahan laser atau insisi. Menetapkan regimen pengobatan membutuhkan perhatian khusus mengenai efektivitasnya (dampak potensial pada penyakit) dan toksisitas (efek samping pengobatan), dan derajat dimana efikasi menurun dikarenakan faktor visual, fisik, sosial, ekonomik, atau faktor fisiologis. Ahli mata harus mempertimbangkan hal ini untuk memaksimalkan efektivitas dari terapi dan toleransi yang dapat dicapai untuk mendapat respon terapi yang diharapkan.[6]

2.8.3 Target TIO

Dalam manajemen pasien glaukoma, dokter harus berusaha untuk mencapai rentang stabil dari TIO yang terukur untuk menghindari kerusakan nervus optikus lebih jauh. Batas atas dari limit dipertimbangkan sebagai “target pressure”. Tekanan target bervariasi pada tiap pasien sehingga pada pasien yang sama memerlukan penyesuaian seiring perjalanan penyakit. Ketika memulai terapi, ahli mata mengasumsikan bahwa rentang tekanan yang terukur pada saat sebelum pengobatan telah memberi kontribusi pada kerusakan nervus optikus dan mempunyai kemungkinan menyebabkan kerusakan lebih jauh di masa yang akan datang. Target pressure permulaan yang dipilih harus setidaknya 20% dibawah TIO sebelum pengobatan, tergantung pada penemuan klinis. Pada umumnya jika terdapat kerusakan yang lebih lanjut maka target pressure saat mulai terapi harus lebih rendah lagi. Selama follow up tujuh tahun pasien dari the Advanced Glaucoma Intervention Study dimana TIO selalu dibawah 18 mmHg mempunyai progresi hilangnya lapangan pandang yang minimal. Terdapat dua bentuk klinis yang secara empiris dapat berguna untuk observasi pasien POAG yaitu kerusakan yang telah ada memprediksikan kerusakan yang akan datang kecuali TIO diturunkan, dan kerusakan pada satu mata berhubungan dengan meningkatnya resiko yang signifikan kerusakan pada mata lainnya. Derajat keparahan kerusakan glaukoma dapat diestimasikan dengan menggunakan 3 skala, yaitu ringan ketika abnormalitas nervus optikus konsisten dengan glaukoma dan lapangan pandang normal ketika di tes dengan standard automated perimetry, sedang ketika abnormalitas nervus optikus konsisten dengan glaukoma dan abnormalitas lapangan pandang pada satu hemifield antara 50 dari fiksasi, dan berat ketika ketika abnormalitas nervus optikus konsisten dengan glaukoma dan abnormalitas lapangan pandang pada kedua hemifield antara 50 dari fiksasi pada minimal satu hemisfield. [6]

Validitas dan adekuatnya target pressure harus secara periodik diukur dengan membandingkan dengan status nervus optikus (gambaran optic disc, penilaian kuantitatif dari diskus dan lapisan serat saraf, dan tes lapangan pandang) dengan pemeriksaan sebelumnya. Jika progresi muncul pada target pressure, target TIO harus diturunkan lagi. Kegagalan untuk mencapai dan mempertahankan target tekanan harus dipikirkan mengenai evaluasi ulang dari regimen terapi mengenai resiko dan keuntungan dari terapi alternatif. [6]

2.8.4 Evaluasi Follow-up

Pasien POAG harus mendapat evaluasi follow-up dan monitoring sesuai dengan panduan pada tabel. Pada saat kunjungan harus dianamnesa mengenai riwayat interval okularnya, riwayat interval pengobatan sistemik, efek samping medikasi okular dan frekuensi dan waktu terakhir pemakaian medikasi penurun TIO dan review penggunaannya. Pemeriksaan fisik termasuk ketajaman penglihatan, slit-lamp biomicroscopy, TIO dan waktu dari pengukuran. Evaluasi nervus optikus dan dokumentasi dengan imaging, photography, atau drawing dan evaluasi lapangan pandang harus dilakukan. Berdasarkan atas pemahaman adanya pengaruh dari ketebalan sentral kornea terhadap pengukuran TO, maka pachymetry harus diulang setiap dilakukannya terapi (contohnya pembedahan refraksi) yang dapat mengubah ketebalan dari kornea. Gonioscopy diindikasikan jika ada kecurigaan komponen sudut tertutup, mengecilnya ruangan anterior, atau terdapat perubahan TIO yang tak dapat dijelaskan. Gonioscopy harus dilakukan secara periodik (contohnya 1 sampai 5 tahun). Diantara masing masing rekomendasi interval, terdapat faktor faktor yang menentukan frekuensi kunjungan untuk evaluasi yaitu derajat keparahan (ringan, sedang, berat), stadium penyakit (frekuensi lebih sering untuk derajat yang lebih berat), tingkat progresi, TIO yang melebihi target pressure, dan jumlah faktor resiko lainnya untuk kerusakan nervus optikus. Pada beberapa kasus, follow-up tes lapangan pandang dapat memerlukan frekuensi yang lebih sering atau lebih jarang dari interval yang direkomendasikan. [6]

2.8.5 Penyesuaian Terapi

Indikasi untuk menyesuaikan terapi adalah:[6]

1. Target TIO tidak tercapai.

2. Pasien memiliki progresi kerusakan nervus optikus meskipun target terapi TIO terpenuhi. Validitas dari diagnosis dan TIO target harus di evaluasi kembali. Evaluasi tambahan dapat menunjukkan kondisi yang mempengaruhi progresi kerusakan. Evaluasi ini termasuk pengukuran TIO diurnal, mengulang pengukuran ketebalan kornea sentral untuk verifikasi kornea yang tipis atau adanya perubahan pada ketebalan kornea setelah pembedahan refraksi.

3. Pasien tidak dapat mentoleransi regimen terapi.

4. Patient tidak mematuhi regimen terapi.

5. Terdapatnya kontraindikasi pada pengobatan.

6. Status nervus optikus yang stabil dan rendahnya TIO muncul dalam periode yang lama pada pasien yang menjalani terapi. Pada keadaan ini menurunkan terapi dapat merupakan tindakan yang tepat.

Target TIO harus diturunkan jika terdapat progresifitas kerusakan nervus optikus atau adanya perubahan lapangan pandang. Sedangkan target TIO dapat ditingkatkan jika pasien telah stabil dan jika pasien membutuhkan medikasi yang lebih sedikit karena efek samping terapi. Perencanaan kunjungan pada ophthalmologist dilakukan saat 2-8 minggu untuk menilai respon dan efek samping dari pembersihan medikasi yang lama atau memeriksa onset efek maksimum dari medikasi yang baru. [6]

Daftar Pustaka

1. Kwon YH, Fingert JH, Kuehn MH, Alward WLM. Primary Open-Angle Glaucoma. N Engl J Med 2009;360:1113-24.

2. Yanoff M, Duker JS, Augsburger JJ. 2003. Ophthalmology 2nd edition. Mosby

3. Bell JA. 2008. Primary Open Angle Glaucoma. Diakses dari emedicine

4. Jaeger EA, Jeffers JB, Tiperman R. The wills eye manual 3rd edition.

5. Eva PR, Whitcher JP. 2004. Vaughan & asbury General ophtalmology 16th ed. McGraw Hill companies. USA

6. American Academy of Ophthalmology. Primary Open-Angle Glaucoma, Preferred Practice Pattern. San Francisco: American Academy of Ophthalmology, 2005. Available at: http://www.aao.org/ppp.

7. Lewis PR, Phillips TG, Sassani JW. Topical Therapies for Glaucoma: What Family Physicians Need to Know. the American Academy of Family Physicians. Vol 59 no 7 (april 1999)

8. Anonymous. Glaucoma. Diakses dari http://biomed.brown.edu/Courses/BI108/2006 108websites/group02glaucoma/glaucoma.html

9. Anonymous. Glaucoma. Diakses dari http://www.wikipedia.com

10. Soeroso A. 2009. Patogenesis Glaukoma sudut terbuka primer dan pencegahannya. Pidato pengukuhan Guru Besar Ilmu Penyakit Mata di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

5 tanggapan untuk “Primary Open Angle Glaucoma

  1. Hi there, I found your blog via Google at the same time as searching for a
    related subject, your web site came up, it looks good. I’ve bookmarked it in my google bookmarks.
    Hello there, simply was aware of your blog through Google, and located that it is truly informative. I’m going to be careful for brussels.

    I will be grateful in case you proceed this in future.
    Numerous people will likely be benefited from your writing.
    Cheers!

  2. An outstanding share! I’ve just forwarded this onto a
    colleague who had been conducting a little research on this.
    And he actually bought me dinner because I stumbled upon it for him…
    lol. So let me reword this…. Thanks for the meal!!
    But yeah, thanx for spending time to discuss this issue here on your website.

Tinggalkan Balasan ke judi on line indonesia Batalkan balasan